Bumi Lorosae: Suara Perempuan dalam Rekonsiliasi Konflik di Timor Leste

Ilustrasi Perempuan Timor Leste (Sumber Gambar: Pinterest)
Dalam sejarah sastra, Horatius menyampaikan konsep dulce et utile. Dalam penjelasannya, konsep ini memaparkan bahwa karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mesti memenuhi dua kriteria utama, yaitu menghibur (dulce) dan memberikan manfaat/mendidik (utile). Sejak masa itulah, karya-karya sastra yang hadir memiliki peranan penting dalam membangun peradaban bangsa termasuk di Indonesia. Sastra menjadi wadah yang tepat untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya suatu bangsa, termasuk nilai, kepercayaan, tradisi, dan sejarah. Selain itu, keberadaan karya-karya sastra dengan nilai-nilai tersebut akan menjadi identitas bangsa.
Sebagai sebuah karya sastra, Bumi Lorosae (2025) ini lahir dengan rentang waktu 26 tahun sejak masa referendum 1999 dan dunia baru mengakui Timor Leste sebagai sebuah negara independen pada 2002. Sebuah perjalanan panjang sejarah bagi sebuah bangsa. Lahir dengan rentang waktu yang berjauhan dengan masa berdirinya sebuah negara menjadikan Bumi Lorosae sebagai sebuah karya sastra yang lahir tidak jatuh dari langit atau tidak lahir dari kekosongan budaya seperti pernah disampaikan oleh Teeuw (1986). Sebagai sebuah karya, Bumi Lorosae memang lahir dari riset penulisnya. Akan tetapi, menjadi penulis yang baik mestinya juga telah menjadi pembaca yang baik. Latar sosial budaya dalam Bumi Lorosae atau cara berkisah penulis yang kebetulan berjenis kelamin perempuan atau ideologi kritik terhadap rezim Orde Baru ini ternyata pernah ada dalam karya-karya sastra Indonesia lain yang telah lahir dalam rentang waktu sejarah 26 tahun terakhir. Sebagai sebuah teks, Bumi Lorosae memiliki mozaik-mozaik kisah atau memiliki hubungan intertekstualitas dengan karya-karya sastra lain dalam peta sejarah sastra di Indonesia, yang akan dipaparkan secara singkat pada uraian berikut.
Hubungan intertekstualitas Bumi Lorosae (Wahyuni Refi, 2025) dengan Saman (Ayu Utami, 1998), keduanya mengkritik represi Orde Baru, isu gender, dan kekerasan struktural. Gaya narasi fragmentasi dalam Saman dan penggambaran resistensi terhadap kekuasaan otoriter sejalan dengan semangat perlawanan dalam Bumi Lorosae. Keduanya juga menggunakan sudut pandang personal untuk menyoroti isu politik.
Hubungan intertekstualitas Bumi Lorosae (Wahyuni Refi, 2025) dengan Trilogi Insiden (Seno Gumira Ajidarma, 2010) sebagai dua karya yang memiliki beberapa kesamaan seperti (1) tema dan konteks historis; (2) narasi trauma dan ingatan kolektif; (3) gaya narasi dan pendekatan sastra; dan (4) sebagai sarana kritik sosial. Dalam tema dan konteks historis, keduanya menyoroti kekerasan negara Indonesia di Timor Timur, meski pada fase yang berbeda. Trilogi Insiden menggambarkan awal perlawanan Timor, sementara Bumi Lorosae fokus pada klimaks konflik (1999). Keduanya membongkar narasi resmi Orde Baru yang menyangkal kekerasan sistematis. Selain itu, kedua karya juga menampilkan mekanisme represi negara seperti pembungkaman suara korban, propaganda, dan penggunaan militer untuk mengontrol narasi sejarah.
Dalam narasi trauma dan kolektif, keduanya menolak “amnesia politik” dengan mengabadikan ingatan korban sekaligus mengkritik budaya impunitas di Indonesia. Seno menarasikan trauma seorang tentara Indonesia di Timor Timur yang mengalami konflik batin antara tugas dan suara hati, sedangkan Refi menarasikan tokoh Rafael (pemuda setengah Indonesia-Timor) untuk mewakili dilema identitas pascakolonial.
Dalam gaya narasi dan pendekatan sastra terdapat dua poin penting yaitu pembongkaran narasi otoriter (Seno menggunakan teknik jurnalistik-fiksi dalam Trilogi Insiden dengan mencampur fakta sejarah dengan imajinasi sastra untuk mengungkapkan kebenaran yang disensor, sedangkan Refi dalam Bumi Lorosae mengadopsi pendekatan realisme magis dan narasi personal untuk menyuarakan perspektif yang terpinggirkan). Mengenai fragmentasi dan multiple perspective, dalam Trilogi Insiden cerita disajikan dari sudut pandang korban, pelaku, dan saksi dengan menciptakan mosaik narasi yang kompleks, sedangan dalam Bumi Lorosae cerita disajikan dengan alur non-linear dan monolog batin untuk merekonstruksi ingatan tokoh tentang kekerasan 1999. Selanjutnya, sebagai sarana kritik sosial, kedua karya menantang hegemoni narasi resmi Indonesia tentang Timor Timur (Seno menuliskan Trilogi Insiden sebagai protes terhadap pembredelan media dan manipulasi informasi oleh Orde Baru, sedangan Refi menuliskan Bumi Lorosae untuk mengungkapkan dampak jangka panjang kekerasan 1999 yang sering diabaikan dalam wacana rekonsiliasi Indonesia-Timor Leste). Selain itu, baik Seno maupun Refi menjadikan sastra sebagai media perlawanan untuk mengembalikan subjektivitas korban yang dihapus dari sejarah dan mempertanyakan tanggung jawab moral Indonesia atas kekerasan di Timor Timur.
Selain persamaan-persamaan yang telah dipaparkan, kedua karya tersebut juga memiliki perbedaan menonjol, yaitu Trilogi Insiden berfokus pada fase awal pendudukan Indonesia (1975-1991), sementara Bumi Lorosae pada fase akhir (1999). Perbedaan lainnya terletak pada suara/perspektif perempuan sebagai korban sekaligus agen perubahan dalam Bumi Lorosae, sedangkan Trilogi Insiden lebih didominasi suara laki-laki (tentara, jurnalis). Dengan demikian, hubungan intertekstualitas antara Bumi Lorosae dengan Trilogi Insiden terletak pada (1) komitmen mengungkap kekerasan negara yang disembunyikan oleh rezim otoriter; (2) penggunaan sastra sebagai alat rekam sejarah alternatif, terutama untuk menyampaikan suara korban; dan (3) eksplorasi trauma dan ingatan yang menantang amnesia kolektif.
Hubungan intertekstualitas Bumi Lorosae (Wahyuni Refi, 2025) dengan Pulang (Leila S. Chudori, 2012), keduanya mengangkat tema mengenai pengasingan politik, eksil Indonesia pasca 1965, dan pencarian identitas. Kisah mengenai diaspora dan konflik identitas dalam Pulang sejalan dengan pergulatan tokoh-tokoh dalam Bumi Lorosae yang terjebak antara loyalitas dan kemanusiaan.
Hubungan intertekstualitas Bumi Lorosae (Wahyuni Refi, 2025) dengan Amba (Laksmi Pamuntjak, 2012), keduanya mengangkat tema mengenai dampak politik 1965 pada kehidupan personal, terutama kisah tahanan politik di Pulau Buru. Keduanya juga menggabungkan sejarah kelam Indonesia dengan narasi pribadi tentang kehilangan dan pencarian identitas. Amba dan Bumi Lorosae sama-sama mengeksplorasi trauma kolektif yang membentuk hubungan manusia dengan negara.
Hubungan intertekstualitas Bumi Lorosae (Wahyuni Refi, 2025) dengan Pasung Jiwa (Okky Madasari, 2013), keduanya bertema kritik sosial terhadap ketidakadilan, represi agama, dan marginalisasi. Okky Madasari adalah seorang penulis yang dikenal dengan karya-karya yang vokal mengkritik kekuasaan mirip dengan cara Bumi Lorosae menyoroti ketegangan antara Timor Timur dan Indonesia. Keduanya menggunakan sastra sebagai media untuk menyuarakan isu kemanusiaan.
Hubungan intertekstualitas Bumi Lorosae (Wahyuni Refi, 2025) dengan Laut Bercerita(Leila S. Chudori, 2017), keduanya mengambil tema mengenai penghilangan paksa aktivis 1998, kekerasan negara, dan perlawanan. Keduanya juga menyoroti mengenai kekerasan politik Orde Baru dan dampaknya pada individu. Laut Bercerita berfokus pada tragedi 1998, sementara Bumi Lorosae pada konflik Timor Timur 1999, tetapi keduanya sama-sama mengkritik otoritarianisme dan menyuarakan korban yang terlupakan.
Hubungan intertekstualitas Bumi Lorosae (Wahyuni Refi, 2025) dengan Marga Tuan (Felix K. Nesi, 2020), keduanya sama-sama mengangkat tema mengenai kritik terhadap kolonialisme dan perjuangan identitas pascakolonial. Marga Tuan ditulis oleh penulis Timor Leste, sehingga dapat memberikan perspektif lokal tentang konflik yang sama dengan Bumi Lorosae. Keduanya dapat dibaca sebagai dialog antar-teks tentag sejarah Timor.
Hubungan intertekstualitas Bumi Lorosae dengan beberapa karya sastra yang telah dipaparkan dihubungkan oleh tema besar yang sama, yaitu (1) kekerasan politik (representasi kekerasan negara dan dampaknya pada masyarakat sipil; (2) trauma dan ingatan (narasi tentang kehilangan, luka batin, dan upaya melawan lupa); (3) identitas nasional (pertanyaan tentang kebangsaan dan konflik loyalitas dalam konteks geopolitik); dan (4) suara perempuan (Wahyuni Refi, Ayu Utami, Leila S. Chudori, dan Laksmi Pamuntjak) dalam menampilkan perspektif perempuan dalam narasi sejarah. Hubungan intertekstualitas yang dibahas dalam tulisan ini tidak selalu berarti referensi langsung, tetapi juga mengenai kesamaan tema, struktur atau semangat kritik sosial. Karya-karya sastra yang telah disebutkan dapat dibaca sebagai bagian dari diskusi sastra Indonesia yang mengisahkan sejarah kelam dan suara korban, termasuk konflik Timor Timur yang sering dianggap tabu dalam wacana nasional.
Ririe Rengganis1
1Penulis adalah pengajar di Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.
*Disampaikan dalam acara Peluncuran dan Diskusi Novel Bumi Lorosae karya Wahyuni Refi di Auditorium T3 Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, 27 Februari 2025.