Akademisi Sastra UNESA, Soroti Perlawanan Perempuan Korban Peperangan dalam Launching Novel “Bumi Lorosae”

s1.sind.unesa.ac.id, SURABAYA-Menyoroti sisi lain sejarah yang terekam dalam karya sastra, Penerbit Buku Widyaiswara Pustaka bekerja sama dengan Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menggelar acara diskusi sekaligus peluncuran novel berjudul “Bumi Lorosae” karya Wahyuni Revi pada Kamis, 27 Februari 2024, bertempat di Auditorium Lantai 3, Gedung T2, Fakultas Bahasa dan Seni UNESA Kampus 2 Lidah Wetan Surabaya.
Novel “Bumi Lorosae” karya Wahyuni Revi menceritakan tentang kisah-kisah yang terkait erat dengan kompleksitas seteru politik era dekolonisasi Timor-Portugis. Pengalaman kelam perang saudara yang menelan kurban ratusan jiwa, hingga romansa generasi baru Timor Leste-Indonesia dirajut menjadi satu dalam novel tersebut.
Menurut, Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni, Fakultas Bahasa dan Seni UNESA, “Bumi Lorosae” bukan hanya sekedar novel, tetapi jendela sejarah yang membuka kisah panjang antara Indonesia dengan Timor Leste.
“Melalui tokohnya kita menyaksikan bahwa sejarah tidak hanya dipahat oleh peristiwa besar tetapi juga individual. Sebuah bacaan yang tidak hanya memberikan perspektif tentang sejarah tetapi juga tentang cinta dan lain-lain. Akan ada dua sudut pandang yang membedah buku ini yaitu dari sudut pandang sastrawan dan sudut pandang akademikus sastra” terangnya.
Akademisi Sastra dari Program Studi S-1 Sastra Indonesia, FBS, UNESA, Dr. Ririe Rengganis, S.S., M.Hum., menyoroti tentang dampak peperangan dan perseteruan politik yang berujung pada perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Konflik yang ada, menimbulkan permasalahan yang menyulitkan perempuan, tetapi disisi lain juga menunjukkan bahwa perempuan juga dapat melawan.
“Dalam novel ini semangat menyuarakan itu ada dalam tokoh-tokoh perempuan. Meskipun dialog dalam novel ini banyak dilakukan oleh lelaki, peran aktif perempuan seperti oleh tokoh Olimpia, dalam sebuah perang dan konflik yang menjadi korban kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak, untuk itu sebaiknya narasi sejarah tidak hanya di tulis oleh laki-laki tetapi juga perempuan” ungkap peneliti feminisme dalam karya sastra itu.
Bentuk perlawanan perempuan seperti terlihat dari perempuan yang mampu menyuarakan keresahannya, ibu-ibu yang berperan dalam menyiapkan ransum, dan lain-lain. Apa yang terjadi dalam Bumi Lorosae, bahwa karya sastra tidak hanya sebagai hiburan tetapi bagaimana karya sastra membawakan sejarah. Buku sastra membawa point of view lain sejarah, tidak hanya dari sisi korban, sisi pelaku, tetapi juga melihatnya dari sisi sebagai pihak ketiga.
Selain akademisi sastra, diskusi novel tersebut juga turut mengundang Esais dan Sastrawan Nasional, Afrizal Malna, yang menjadi pemantik diskusi. Afrizal mengapresiasi basis sejarah yang diangkat dalam novel yaitu perjalanan berdirinya Timor Leste selama puluhan tahun.
“Wahyuni Revi menjadi penulis yang hebat karena tidak banyak perempuan yang menulis tentang peperangan, sejarah yang penuh dengan air mata, bagaimana perempuan menulis darah, bagaimana perempuan menulis tebasan, bagaimana perempuan menulis luka” ungkapnya.
Kisah dalam novel ini, menceritakan bagaimana Timor Leste dijajah selama 400 tahun oleh Portugis, ketika terjadi revolusi di Portugis, Portugis melepaskan Timor Leste dan Indonesia masuk, ketika situasi buruk pada 98 Indonesia melepaskan Timor Leste dan Timor Leste menjadi negara baru. Tetapi semua konflik yang ditinggalkan berpusat pada Portugis dan Indonesia, Portugis menghancurkan identitas Timor Leste yang merasa lebih dekat dengan Eropa dari pada Indonesia, dari sana muncul berbagai partai dengan perspektifnya masing-masing.
Bagi Afrizal, novel ini mengisahkan banyak penderitaan pengungsi. Satu tokoh yang penting adalah muncul generasi yang kehilangan orang tuanya. Generasi ini kehilangan orang tua dan dipelihara oleh tentara, tumbuh menjadi orang Indonesia tetapi ketika besar berontak karena merasa fisiknya berbeda. Krisis identitas dan juga penggunaan Bahasa Tetun yang dipakai dalam novel ini, seperti melawan pandangan bahwa Timor Leste berorientasi ke Eropa.
Sementara itu, penulis novel Bumi Lorosae, Wahyuni Revi membeberkan proses kreatifnya yaitu proses riset yang dilakukannya selama kurang lebih satu tahun dengan langsung berkunjung ke Timor Leste melalui jalur darat, mengunjungi distrik-distrik terpencil sebelum akhirnya ke Ibu Kota, Dili. Melalui riset yang dilakukan dengan mewawancarai berbagai pihak tersebut Wahyuni terinspirasi dari statement “Sejarah selalu Ditulis oleh Seorang Pemenang”.
“Ada hal yang sangat urgent bahwa kita memiliki keterikatan rumpun, ada sejarah panjang sekali dan keterkaitan sejarah antara Indonesia dan Timor Leste. Awalnya kita riset bukan untuk buku tetapi untuk film persahabatan Indonesia dan Timor Leste yaitu berjudul “Ketika Luka Bicara Cinta” paparnya.
Pimpinan Redaksi Widyaiswara Pustaka, Damhuri Muhammad menambahkan bahwa kisah dalam novel ini tidak hanya mengisahkan terkait perang, tetapi Wahyuni Revi menghadirkan kisah yang berbicara tentang cinta, dimana generasi Timor Leste hari ini dipertemukan dengan generasi Indonesia hari ini, yang menunjukkan bahwa hubungan kedua belah pihak negara telah terjalin dengan baik.
Reporter: Muhammad Azhar Adi Mas’ud dan Medina Azzahrah