Infografik - Sastra Masuk Kurikulum Bukan Hal yang Mendesak, Tapi Mengapa Baru Sekarang?

UNESA - Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia pada 2023
sebanyak 278,69 juta jiwa. Namun hal itu berbanding terbalik dengan jumlah
minat bacanya. Dilansir dari data UNESCO, hanya 0,001 persen masyarakat
Indonesia yang memiliki minat baca. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya
1 orang yang suka membaca. Terdapat beberapa faktor penyebab literasi di
Indonesia rendah. Salah satunya karena kualitas pendidikan. Kurangnya tenaga
pendidik yang berkualitas serta model pembelajaran yang kurang efektif menjadi
kendala dalam hal ini.
Senin, 20 Mei 2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan program Sastra Masuk Kurikulum. Peluncuran program ini merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan literasi, memperkaya pengetahuan budaya, dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa di Indonesia.

Mohammad Rokib, S.S., M.A. selaku dosen dan juga ilmuwan sastrawan Universitas Negeri Surabaya, berpendapat program ini bukanlah hal yang mendesak, melainkan sudah seharusnya ada di kurikulum. Terdapat beberapa buku atau bacaan yang disarankan oleh Kemendikbudristek, salah satunya Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Beberapa kalangan menilai buku ini memiliki histori dan politis yang kuat dan dinilai kontroversial untuk menjadi bacaan dan masuk pada program Sastra Masuk Kurikulum. Menurutnya, hal ini dapat terjadi karena terdapat histori bahwa pada zaman orde baru dilarang dan dihanguskan karena didalamnya dianggap dan dinilai oleh orde baru dapat membahayakan ideologi Pancasila karena berisikan ideologi marxisme atau bahkan komunisme.
Tim :
“mengapa saat ini Kemendikbudristek berani?”.
Rokib :
“karena masyarakat saat ini sudah sadar, sudah tahu dan sudah dapat menilai bahwa
Bumi Manusia tidak semata kemudian dilabeli dengan tema komunisme atau
marxisme. Buku ini menceritakan gaya-gaya yang realis, bukan berarti komunis”.
Tim :
“bagaimana dengan guru-guru dan strateginya?”.
Rokib : “tidak semua guru suka dan paham dengan sastra. Saya kira memberikan modul ajar penting untuk mendampingi. Tetapi dilihat kembali masuknya ke level apa. Jika ini masuk ke dalam topik mata pelajaran tertentu, maka perlu untuk pembuatan dan penyediaan remote semacam modul ajar. Dan diperlukan pelatihan intensif untuk guru agar memahami dan dapat menyampaikan materi yang sensitif itu. Selain itu, bisa disediakan platform bagi guru untuk bertukar informasi dan cerita. Bisa menggunakan strategi lain, yaitu kolaborasi dengan pakar sastra atau ilmuwan sastra”. [Dialog Via Gmeet]
Beliau menjelaskan tujuan diadakannya program ini, seperti disebutkan diatas, program ini untuk memberikan pemahaman kepada siswa-siswi agar terbuka terhadap kultur yang berbeda diluaran sana. Misalnya mahasiswa yang berasa dari Jawa membaca novel karya Helix Nessie yang memiliki latar belakang Indonesia timur. Ketika mahasiswa Jawa membaca, mereka dapat berimajinasi dan mendapat pandangan bagaimana bentuk Indonesia timur. Secara tidak sadar, ini menuntun imajinasi mereka untuk berusaha terbuka.
Dosen
Prodi Sastra Indonesia Unesa satu ini memberikan saran tentang banyaknya anak
muda yang lebih memilih untuk mengkonsumsi konten digital daripada membaca
buku. Beliau menyarankan sastra digital yang beredar di internet seperti di
wattpad, untuk di alih mediakan menjadi audio visual seperti dibuat game.
Sayangnya hal ini tidak menjamin untuk meningkatkan literasi mereka. Selain
itu, bisa juga diadakan klub-klub buku disekolah-sekolah sebagai wadah untuk
meningkatkan literasi.
Simpulannya,
Program ini tetap perlu pertimbangan dan koreksi karena hal ini merupakan baru
dan mengundang banyak kontroversi. Terkait tercapai atau tidaknya program ini, Kemendikbudristek
seperti sudah mencari kompas sekaligus ombak dari pelayaran sastra di
Indonesia. Bagaimana menurut kalian? Siap menjadi ahli sastra bersama di Prodi Sastra Indonesia di Unesa?
- Tim
Jurnal 2024 -