LUCU!!! TIDAK ADA SENI TEATER PADA PILKADA SERENTAK 2024

Peristiwa
politik adalah narasi utama suatu masyarakat yang alurnya sering berubah-ubah
sampai detik ini. Kampanye-kamapanye baru tentang cara berkuasa baru sangat
eksotis dan tropis. Kita akhirnya menyaksikan teater tanpa tiket hanya untuk menunggu
seperti apa tokoh utama ini bekerja. Meskipun sadar, kita tetap saja tidak
pernah tahu siapa tokoh utamanya. Melalui sejarah teater, seni visual dan
sastra, seniman akhirnya lagi-lagi hanya menyaksikan secara bergiliran
penulisan ulang narasi utama ini.
Jauh
sebelum adanya Pemilu kali ini, pada pertengahan abad ke 4 SM, Teater
Aristotelian oleh Aristoteles menggembori persoalan karakter tokoh yang tragis.
Dibukunya dengan judul The Poetics membeberkan bahwa tokoh tragis itu harus
menjadi baik dalam cerita. Harus melibatkan perubahan. Jadi maksudnya? bukan nasib
buruk menjadi baik, tetapi nasib baik menjadi buruk. Bukan karena kejahatan dari
tokoh, melainkan suatu kesalahan cuil yang berakhir menjadi nasib buruk tokoh.
Tujuannya adalah untuk membantu rasa simpati, rasa kasihan dan sekaligus rasa
takut kepada penonton, sampai mereka betul-betul menemukan pengakuan sendiri
terhadap tokoh itu (baik atau jahat). Tahan dulu.
Jika
ada grup yang memungkinkan seniman membuat teater dan ikut andil dalam pemilu,
maka dengan metode exit poll bisa dipastikan orang-orang tidak akan mampu
bersedia membeli tiket untuk itu. Atau bukan tidak mampu, tapi memang tidak
berminat sama sekali. Atau bukan tidak berminat, memang orang-orang sedang sibuk
dengan teater yang sedang berlangsung saat ini. Sudah berlangsung
bertahun-tahun barangkali. Uniknya, para seniman merasa tidak ada keunikan sama
sekali. Pergerakannya esek-esek, tidak menyentuh, dan tidak bergairah. Belum
selesai seorang seniman digontor dengan kemiskinan, malah ditambah dengan
perpecahan-perpecahan drama Netflix dan Korea. Mungkin karena meta di era
reformasi masih membuat seseorang-seseorang tersanjung.
Kembali
ke tokoh tragis, di tahun 1974 dalam teater kaum tertindas, Augusto Boal
tampaknya tidak senang dengan premis “baik menjadi jahat atau sebaliknya
diakhir kisah”. Dia membela aktor dan penonton. Sangat tragis katanya,
Aristoteles harus membayar banyak dari konflik itu. Mengubah aktor dan penonton
yang menganut paham tersebut menjadi primitif kembali. Anti social. Alasan yang
sangat sederhana sebetulnya, mungkin karena aktor banyak ditentang secara sosial
oleh penonton jika telah selesai tampil dan berhasil memerankan tokoh tragis
itu. Apa mungkin Boal meminta bayaran juga kepada Aristoteles terhadap fenomena
sosial yang dialami Indonesia saat ini?
Fenomena
ini juga memanggil ingatan Revolusi Rusia, disaat pemerintahan Rusia fokus membangun
karakter negaranya. Namun, seorang blasteran yaitu Vsevolod Meyerhold dengan praktik
seni teaternya mengalihkan keadaan saat itu, bahwa ada namanya representasi
hubungan segitiga antara penonton-pengarang-actor: hubungan segitiga antara
negara-pengarang-masyarakat. Pertanyaan dari representasi itu adalah manakah sosok
pengarang yang dimaksud itu?. Meyerhold
membeberkan idenya, jawabannya ada di penonton: jadi pengarang merupakan masyarakat
itu sendiri. Masyarakat didorong berpikir dan membayangkan sendiri
kenyataan-kenyatan verbal disekitar mereka.
Tanpa
merujuk Aristoteles, Meyerhold secara stilisasi tubuh, membutuhkan Masyarakat
benar-benar tidak nyaman mengenali dirinya sendiri bahwa mereka itulah
pengarang yang sebenar-benarnya. Jika dipertontokan dengan satu peristiwa
misalnya gerakan-gerakan tubuh, mereka harus mampu membaca maksudnya. Dari
tubuh mampu meningkatkan kesadaran tentang bagaimana tubuh itu memiliki
artikulasi gerakan dengan dekonstruksi gerakan tersebut. Tidak harus
menyertakan bahasa/retorika/verbal agar dapat dibaca oleh Masyarakat. Meskipun
memang dari konsep ini membuat Meyerhold menjadi musuh rakyat Stalin saat itu.
Banyak yang menyerang dan mendesaknya dengan alasan kemampuan masyarakat akan rusak
untuk sampai dengan pemahaman seperti itu. Apakah ini merupakan sebuah hegemoni
ketakutan para seniman jika ikut aktif dalam peristiwa politik? Tapi
setidaknya, seniman dari Jerman yakni Bertolt Brecht justru terpengaruh dengan
konsep stilisasi itu, dia berhasil mencapai keterasingan penonton di praktik
teater epiknya.
Setelah
Meyerhold, keseregaman paham yang sama dialami oleh Brecht. Meskipun Brecht harus
meninggalkan Jerman karena satir dalam karya produksinya tentang kebangkitan
Adolf Hitler dan Nazi saat itu. Memastikan posisi masyarakat saat itu asing,
mengurung mereka sampai tersesat dengan satirnya, hingga mereka terperangkap
untuk mengenali dirinya. Kejeniusan Brecht untuk keluar dari Jerman, membuat
karya-karya satirnya berhasil diterjemahkan di berbagai negara.
Beberapa
gagasan-gasasan seni teater yang pernah lahir dari lintas negara dan lintas
masa, dipersatukan pada kubangan ini. Namun, gagasan-gagasan ini tidak
bermaksud mengikuti tradisi narasi dari teater, melainkan mendorong seniman
sebagai aktor sosial yang berperan mengungkap ruang media, ruang publik dan kepengarangan
masyarakat terhadap peristiwa politik siang ini.
Sebuah gagasan dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang kenyataan yang dialami di pemilu kali ini. Bisa saja menjadi tampak lucu dengan keabstrakan para calon pemimpin atau bisa saja sangat tragis dengan pendukung-pendukungnya? Pertanyaan ini kita harapkan dapat dijadikan studi kasus bersama. Karena peristiwa politik tidak tumbuh secara organik namun peristiwa sejarah lahir dengan elastis. Ada ultimatum yang perlu diperjuangkan para seniman. Ini adalah cerminan kritis dari tokoh tragis Aristotelian dan representasi segitiga Meyerhold serta seruan seniman-seniman yang optimis lainnya. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan sarana untuk mengaktifkan kesadaran kita semua serta pikiran-pikirannya.