Nestapa Gerakan Literasi di Indonesia

Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia memainkan peran penting dalam perkembangan literasi nasional, terutama dalam meningkatkan pemahaman bahasa, sastra, dan budaya Indonesia. Dengan tujuan mendalami keindahan dan kekayaan bahasa Indonesia, prodi ini menjadi salah satu wadah untuk mencetak lulusan yang berkompeten dalam ranah kebahasaan dan literasi.
Namun, melihat kondisi literasi masyarakat Indonesia saat ini, kita dihadapkan pada kenyataan yang cukup memprihatinkan. Berdasarkan data UNESCO, tingkat literasi Indonesia berada di peringkat ke-100 dari 208 negara pada tahun 2022. Sementara itu, survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018 menempatkan Indonesia pada urutan 72 dari 78 negara terkait literasi membaca.
Angka ini bukan hanya mencerminkan rendahnya minat baca di kalangan masyarakat, tetapi juga memperlihatkan bahwa gerakan literasi yang ada selama ini belum mampu memberi dampak signifikan dalam meningkatkan budaya baca di Indonesia.
Gerakan literasi nasional yang diinisiasi oleh pemerintah dan berbagai lembaga seakan berjalan di tempat dan tak kunjung berhasil membawa Indonesia naik peringkat. Banyak program literasi yang hanya sebatas seremonial atau formalitas, tanpa adanya strategi yang menyentuh akar permasalahan.
Salah satu indikasi lemahnya gerakan literasi ini adalah minimnya dampak yang terlihat dalam perilaku literasi masyarakat, terutama dalam hal kemampuan membaca dan pemahaman konten.
Potensi Prodi Sastra Indonesia
Prodi Sastra Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam mengatasi masalah ini, mengingat peranannya dalam mencetak para ahli bahasa, penulis, dan pendidik. Namun, keberadaan lulusan prodi ini seolah tak memberi pengaruh berarti terhadap perkembangan literasi Indonesia yang stagnan atau bahkan terus menurun selama satu dekade terakhir.
Salah satu alasan mengapa keberadaan lulusan Sastra Indonesia belum mampu meningkatkan minat baca di masyarakat adalah karena pendekatan literasi di Indonesia yang masih terpaku pada aspek formal pendidikan. Literasi seringkali dipandang sebatas kemampuan teknis membaca dan menulis, padahal literasi sejati mencakup pemahaman kritis terhadap teks serta kemampuan untuk mengevaluasi informasi.
Selain itu, pendekatan pendidikan literasi yang berbasis kurikulum seringkali kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari dan minat siswa, sehingga gagal menanamkan kecintaan membaca sejak dini.
Hal ini juga tercermin dalam laporan Central Connecticut State University (CCSU) pada tahun 2016, yang menunjukkan bahwa dari 61 negara, Indonesia menempati urutan ke-60 dalam hal literasi. Faktor ini menunjukkan bahwa pendidikan literasi formal di Indonesia perlu diperbaiki agar lebih inklusif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Selain itu, meskipun banyak dosen Sastra Indonesia yang memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa dan literatur, mereka seringkali terjebak dalam birokrasi pendidikan yang kaku. Beban administratif dan tuntutan penelitian yang lebih fokus pada publikasi ilmiah membuat mereka lebih sibuk dengan tugas akademik formal daripada melakukan pengabdian masyarakat yang berdampak langsung pada gerakan literasi.
Akibatnya, keahlian mereka dalam bidang sastra tidak sepenuhnya terpakai untuk mengembangkan literasi masyarakat. Lebih lanjut, kurangnya sinergi antara akademisi dan komunitas literasi membuat upaya peningkatan minat baca di masyarakat tidak terkoordinasi dengan baik.
Jika para dosen dan lulusan Sastra Indonesia lebih didorong untuk terlibat aktif dalam kegiatan literasi masyarakat, seperti menjadi mentor atau menyelenggarakan diskusi publik tentang sastra dan membaca, maka dampak dari gerakan literasi ini bisa jadi lebih terasa.
Literasi, Demokrasi dan Ekonomi
Dalam lingkup yang lebih luas, rendahnya literasi masyarakat Indonesia tidak hanya memalukan dari perspektif internasional, tetapi juga berdampak pada kemampuan bangsa dalam bernegara. Literasi yang rendah berkaitan erat dengan kemampuan berpikir kritis dan membedakan informasi yang benar dari hoaks atau mis informasi.
Dalam konteks demokrasi, kemampuan literasi yang rendah membuat masyarakat lebih rentan terhadap manipulasi informasi, yang akhirnya mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik dan sosial. Dengan demikian, tingkat literasi yang rendah tidak hanya berdampak pada minat baca semata, tetapi juga pada kualitas demokrasi dan kemajuan bangsa secara keseluruhan.
Selain itu, dalam pandangan ekonomi, literasi juga memainkan peran penting. Menurut laporan World Bank, sekitar 55% pekerja di Indonesia berada dalam sektor informal, di mana kemampuan literasi yang rendah sering kali membatasi akses mereka terhadap peluang ekonomi yang lebih baik.
Dalam era digital ini, literasi bukan lagi sekadar kemampuan membaca teks cetak, tetapi juga kemampuan memahami informasi digital yang kian meluas. Prodi Sastra Indonesia dengan kemampuannya dalam mengajarkan pemahaman mendalam tentang bahasa, dapat berkontribusi dalam membekali masyarakat dengan literasi digital yang lebih baik. Namun ini memerlukan dukungan pemerintah dan pemangku kebijakan untuk menciptakan program literasi yang lebih integratif.
Untuk mewujudkan peningkatan literasi yang signifikan, perlu adanya pendekatan baru yang lebih fokus pada pengalaman membaca dan interaksi langsung dengan literasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini para lulusan Sastra Indonesia dapat diarahkan untuk menjadi motor penggerak komunitas literasi, bekerja sama dengan sekolah, perpustakaan, dan lembaga pemerintah untuk menyusun program-program yang relevan dan interaktif. Misalnya, program “Kampung Literasi” yang melibatkan komunitas dalam kegiatan membaca bersama atau mendiskusikan karya sastra yang disesuaikan dengan konteks lokal.
Jika program semacam ini dikelola dengan baik, literasi dapat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, bukan sekadar kewajiban di sekolah atau kampus.
Singkatnya, prodi Sastra Indonesia memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam gerakan literasi nasional. Namun, upaya ini perlu didukung oleh sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan sinergi antara akademisi dan masyarakat.
Dengan lebih banyaknya keterlibatan aktif lulusan Sastra Indonesia dalam komunitas literasi dan adanya program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, diharapkan tingkat literasi Indonesia dapat meningkat secara bertahap, sehingga bangsa ini mampu bersaing di kancah global dan memajukan masyarakat yang lebih berdaya kritis.
Penulis: Rachmaddani
Rizki Saputra